Sumber Foto: http://aisyiyah.or.id/wp-content/uploads/2014/05/anak_jalanan_1.jpg |
Sore itu setelah memakirkan motor di tempat parkir masjid, ada seorang anak kecil dengan pakaian yang agak lusuh menghampiri saya...
Anak kecil: "Mas, minta uangnya mas."
Saya: "Mau minta uang berapa dek?" (muncul intuisi kalau anak kecil ini pengemis)
Anak kecil: "1000 aja gpp koq mas."
Saya: "Mmm...okelah, tapi kamu udah sholat belum, Dek?" (saat itu sudah masuk waktu maghrib)
Anak kecil: "Belum sih mas."
Saya: "Emang kamu kesini sama siapa dek?"
Anak kecil: "Sama Ibu tuh mas, disana."
Saya: "Ya sudah sekarang sholat dulu yuk, nanti setelah itu mas kasih 1000nya."
Anak kecil: "Bajuku kotor mas, nanti aja sholat di rumah."
Saya: "Lho emang rumahmu dimana, Dek?"
Anak kecil: "Di Sayung mas." (Sayung: nama sebuah daerah di Semarang bagian Utara)
Saya: "Ya sudah karena kamu belum sholat ini mas kasih 500 aja ya." (segera mengakhiri pembicaraan karena sholat sudah dimulai)
Anak kecil: "Iya makasih mas."
(Percakapan ini terjadi malam Jum'at kemarin di halaman parkir Masjid Baiturrahman Semarang)
-----
Percakapan singkat dengan anak kecil itu semakin membuka pikiran saya tentang gambaran kehidupan saat ini. Tampak dari percakapan itu bahwa eksploitasi orang tua terhadap anak semakin menjadi. Dengan wajah polosnya, anak kecil itu meminta uang dari setiap orang yang dijumpainya. Saya yakin kalau orang tuanya lah yang mengajari si anak untuk mengemis. Bukan maksud husnudzon, tapi apa sih yang bisa dilakukan oleh anak sekecil itu selain mematuhi perintah orang tuanya, terlebih lagi kalo perintah itu disertai dengan bentakan. Bayangkan saja, kalau saya taksir umur anak kecil itu belumlah menginjak 10 tahun! Ini jelas melanggar Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi tampaknya itu sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kelas bawah kita.
Selain percakapan di atas, saya juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri beberapa anak pengamen jalanan yang dimaki-maki oleh seseorang. Tidak jelas apakah dia orang tuanya, ataukah korwil (koordinator wilayah, halah!) dari anak-anak pengamen jalanan itu. Sedangkan bapak yang saya sebut korwil itu hanya berdiri saja dari kejauhan lampu lalu lintas untuk mengawasi 'anak-anak'nya yang lain. Parah! Dimana tanggung jawab dia (baca: beliau) sebagai yang dituakan, yang seharusnya lebih mampu bekerja daripada 'anak-anak'nya yang selayaknya duduk belajar di ruang kelas bersama teman sebayanya yang lain.
“Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian tidak lain kecuali ujian.”
(QS. At-Taghabun: 15)
(QS. At-Taghabun: 15)
Di sisi lain, dilema memang ketika saya akan memberikan uang kepada anak kecil itu. Kalau saya kasih 1000, artinya saya memenuhi permintaan anak kecil itu, yang secara tidak langsung bisa memberikan efek 'ketagihan' pada si anak untuk terus meminta-minta. Jika tidak saya kasih, kasihan juga melihat wajah polos si anak yang sebenarnya tampak pasrah menerima uang berapa pun dari orang yang diminta. Akhirnya saya ambil jalan tengah untuk memberikan uang 500 perak saja dengan embel-embel "Ya sudah karena kamu belum sholat ini mas kasih 500 aja ya". Keputusan ini sebenarnya tidak baik juga karena bisa saja si anak itu langsung ambil wudlu dan sholat, setelah itu kembali lagi untuk meminta 500 perak sisanya. Niat sholat yang ia gunakan saja menyimpang karena demi mendapatkan uang. Yah...tapi mau bagaimana lagi, saat itu saya berpikir itulah jalan yang terbaik.
Nah, kalau Anda mengalami hal yang serupa, kira-kira apa yang akan Anda lakukan?
Catatan ini memang hanya sekedar untuk membuka wacana kita saja. Saya juga menyampaikan permohonan maaf bahwa sampai saat ini saya belum mampu mempersembahkan apa-apa untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Tapi minimal melalui postingan-postingan semacam ini kita menjadi tahu bahwa ternyata kehidupan mereka di jalanan sungguh berbeda dengan kehidupan kita yang jauh lebih nyaman.
0 Response to "Jalanan, Penyambung Urat Nadi Mereka"
Posting Komentar