Alhamdulillah...setelah sekian lama tidak mengupdate Blog, akhirnya malam ini bisa posting sesuatu. Walaupun jujur saja, kondisi saat ini masih dipenuhi dengan emosi pasca menonton film "Habibie & Ainun" di E-Pl*za Semarang. Dan mohon maaf juga untuk dek Titis, karena belum bisa mengabulkan requestnya untuk update postingan yang berkaitan dengan "amanah" *maklum ada beberapa fenomena aneh yang muncul di organisasi dalam kampus. Sebenarnya di otak juga sudah dipenuhi gagasan dan pertanyaan, tapi apa daya waktu dan mood masih belum berpihak. Semoga secepatnya bisa menerbitkan tulisan itu.
Oke, kembali ke topik awal pembicaraan kita, yaitu Habibie dan Ainun. Jujur saja, awalnya saya tidak tertarik untuk menonton film yang satu ini. Walaupun beberapa status teman di dunia maya ditambah saat mengobrol santai di dunia nyata menandakan bahwa mereka sangat puas menonton film itu. Tapi tetap saja, rasa malas untuk membeli karcis masih lebih kuat dari testimoni yang ada. Hmm...namun apa daya, bagai gayung bersambut, alhamdulillah Ibu menawari untuk menonton film itu bersama dengan keluarga. Langsung saja saya meng'iya'kan tawaran tersebut. Hehe...asyik nonton film gratis :D
Meskipun begitu, niat dan motivasi saya menonton film ini kembali lagi berujung ke dunia saya, yaitu media. Yang saya pikirkan di awal menonton film itu hanyalah bagaimana nanti motion graphicnya, sudut pengambilan gambar oleh juru kameranya, lighting yang disiapkan sebagai pendukung, dan lain-lain yang tak jauh dari media. Namun...ternyata alur cerita yang dikemas dalam film ini memang sungguh menarik, ditambah akting para aktor dan aktris berpengalaman yang tak kalah bagusnya, membuat saya pada akhirnya tidak fokus. Dan...air mata yang mengalir dengan perlahan tadi cukup menjadi bukti kalau saya ikut terbawa dalam alur cerita yang dibangun oleh sutradara Faozan Rizal...T_T
Berikut beberapa hikmah yang bisa saya petik setelah menonton "Habibie & Ainun":
1. Saya jadi sadar bahwa menjadi pemimpin itu amatlah sangat berat. Lebih berat dari apa yang saya pikir sebelumnya. Khususnya bagi seorang laki-laki yang sudah menikah, yang dia mendapat amanat untuk menjadi pimpinan suatu lembaga atau bahkan negara, tentunya tidak mudah untuk membagi peran dalam lembaga/negara tersebut dengan peran vital dalam keluarganya. Jika dalam lembaga/negara dia dituntut untuk selalu tampil prima, karena memang wajar kalau rakyatnya 'tidak mau tahu' bagaimana kondisi kesehatan dan perasaannya saat itu, tapi di sisi lain, dalam keluarga dia juga dituntut untuk bertanggung jawab penuh dalam segala keputusan yang ada di dalamnya. Tak bisa membayangkan ketika dalam satu waktu ada dua masalah besar di masing-masing peran.
2. Tapi, walaupun tanggung jawab seorang pemimpin amatlah besar dan berat, jangan sampai melupakan kesehatan. Pesan ini sangat menyinggung saya pribadi. Sering, saya mengabaikan pesan Ibu dan Bapak saya untuk menjaga kesehatan, makan teratur, dan istirahat cukup. Karena memang sejatinya, tugas kita di dunia ini lebih banyak dari waktu yang ada. Tapi sekali lagi, kerja keras itu harus, tapi jaga kesehatan wajib. Kata Ainun kepada Habibie, "Kamu itu presiden, tapi koq ga bisa jaga diri. Buat jaga kesehatan kamu aja ga bisa, bagaimana mau menjaga kesehatan 200 juta orang rakyatmu". Nah lho, bener juga kan, kalau nanti jatuh sakit tentu kinerja kita akan terganggu. Ayo mulai sekarang jaga kesehatan diri kita masing-masing!
3. Kejar cintamu, lawan semua "musuh" yang mengganggu. Layaknya seorang Habibie yang tak gentar ketika mengejar cinta Ainun meskipun saingannya adalah tentara, pengusaha kaya, rasa minder, kenangan buruk masa lalu, dan sebagainya. Bahkan hanya dengan menggunakan becak, Habibie mampu menaklukan hati Ainun. Ini juga menjadi pembelajaran bagi beberapa pria yang memutuskan untuk pasrah kepada keadaan. Yang mungkin, lebih tepat kalau saya bilang mereka orang-orang yang pesimis. Karena sejatinya, jika kita dilahirkan sebagai seorang pria, kita diberikan semacam hak khusus untuk memilih wanita (yang mereka pun punya hak untuk menolaknya) yang kita inginkan. Perkara ditolak, itu urusan nanti. Yang penting kita maksimalkan ikhtiar dulu, supaya sinkron dengan ayat ini, "Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya." [13:11]. Kalau sudah ikhtiar tapi tetap tidak berjodoh, ya jalani saja, segera bangkit, perbaiki diri lagi, dan cari wanita lain. Tapi ingat! Lakukan itu semua dengan cara yang benar. Bagi yang beragama Islam, lakukan dengan cara-cara yang diajarkan oleh agama. Tidak berpacaran, tapi langsung dengan proses ta'aruf. Sedikit ga suka juga sih dengan penggambaran yang ada di film "Habibie & Ainun", sepertinya terlalu berlebihan dalam menebar kemesraan (baik sebelum mereka menikah maupun setelah menikah). Karena tetap saja mindset penonton bahwa Reza Rahadian (Habibie) dan Bunga Citra Lestari (Ainun) di dunia nyata bukanlah pasangan suami istri. Oleh karena itu, bagi anak-anak dan para remaja seharusnya menonton film ini harus dengan didampingi orang tua mereka.
4. Keras kepala ketika yakin jalan yang diambil adalah kebenaran. Uniknya Habibie adalah dia membangun masa depan di luar negeri. Ia memulai untuk mengembangkan bakatnya di Jerman, karena sempat tawaran baiknya untuk mengabdi kepada Indonesia ditolak. Sehingga sebelum era Bapak Soeharto, Habibie memilih mengabdi untuk Jerman. Padahal banyak sekali masalah yang ada di Jerman sana, termasuk masalah keuangan yang sampai membuat Habibie rela jauh berjalan kaki karena tidak punya uang untuk pulang dengan kereta. Sedikit mengkritisi pemuda Indonesia jaman sekarang yang cenderung tidak punya prinsip. Mereka, termasuk saya, lebih suka menjalani apa yang ada dulu ketimbang memikirkan ke depannya akan seperti apa. Seringkali para pemuda ini terjebak dalam pemahaman sempit seperti kuliah itu keharusan, lulus dulu baru menikah, kuliah ga bisa disambi bisnis, dan sebagainya. Padahal jika kita mau berhenti sejenak, memikirkan apa yang menjadi passion kita, lalu membuat keputusan apa yang akan menjadi target kita ke depannya, menurut saya itu jauh lebih baik dan sistematis. Saya belajar dari teman saya yang 'rela' cuti kuliah untuk belajar bisnis kepada Ayahnya. Lain lagi teman saya yang memutuskan berhenti kuliah dan pindah ke pondok pesantren untuk mendalami ilmu agama. Itu karena memang disitulah passion mereka. Dan semoga, langkah yang saya ambil ini pun benar, jujur saja untuk saat ini saya tidak terlalu berminat untuk mengerjakan skripsi. Belajar bisnis dan belajar agama lebih menarik untuk saya ketimbang menyelesaikan kuliah. Karena memang passion saya sudah jelas, yaitu berwirausaha. Untuk apa saya cepat-cepat lulus, padahal dengan status saya sebagai mahasiswa, saya semacam punya ijin untuk lebih leluasa berjualan di kampus. Jadi ga ada alasan buat 'ngoyo' lulus kuliah. Walaupun begitu, ya saya tetap harus mengejar apa yang sudah saya targetkan. Yap, Oktober 2013! Aamiin...semoga bisa lulus pada waktu yang tepat. Mohon doanya ya...^^
Masih ada banyak sebenarnya, tapi agaknya cukup saya menyampaikan 4 poin di atas. Supaya Blog yang lain pun kebagian untuk menyampaikan resensi dari film "Habibie & Ainun" :)
*modus, padahal udah ngantuk berat (-_-)ZzZ
Dan tak terasa ternyata kita sudah di penghujung tahun 2012. Saya masih ingat sekali ketika di akhir tahun 2011, saya menuliskan target untuk bisa mandiri di tahun 2012. Dan alhamdulillah di tahun 2012 ini saya sudah berhasil menjalankan komitmen itu. Dari bulan Januari sampai sekarang belum pernah sekalipun saya menerima uang dari orang tua. Mulai dari akomodasi, biaya kuliah, biaya hidup, keperluan pribadi, alhamdulillah semua sudah mampu saya penuhi. Ya...hanya sebatas makan dan tempat tinggal yang masih nebeng orang tua. Tapi setidaknya itu sudah membuktikan kalau kita sudah punya mimpi maka Allah akan menunjukkan jalan untuk mimpi kita. Oleh karena itu, jika kamu mempunyai mimpi maka tulislah. Suatu saat nanti kamu akan heran bagaimana mimpi-mimpimu akan terkabul dengan sendirinya, tentunya dengan usaha dan kerja kerasmu. So, tunggu apa lagi, tulis resolusi mimpi-mimpimu di tahun 2013 nanti!
0 Response to "Habibie & Ainun"
Posting Komentar