Saya ingat ketika dahulu masih baru-barunya masuk organisasi kampus, saya sangat haus sekali dengan pengalaman. Ingin rasanya bertanya semua hal kepada kakak-kakak angkatan, tetapi selalu saja ada rasa malu, gengsi, dan takut. Namun semua rasa itu terbungkus rapi dalam pembenaran berwujud pertanyaan "Mengapa kakak-kakak dalam organisasi ini tidak perhatian dengan saya?"
Saya merasa sebagai adik atau yang masih muda tentulah HARUS menjadi perhatian kakak-kakaknya. Saya tidak peduli mereka itu sesibuk apa, di luar organisasi punya urusan apa saja, harus membagi perhatian dengan siapa saja, dan sebagainya. Sehingga pertanyaan itu terus bermunculan di tahun pertama dan tahun kedua saya berorganisasi, "Mengapa kakak-kakak dalam organisasi ini cuek sekali dengan adik-adiknya?"
Menginjak tahun ketiga, otomatis saya menjadi kakak karena sudah mempunyai adik angkatan. Di organisasi pun menjadi penggerak utamanya karena sudah dianggap senior dan mendapatkan kepercayaan sebagai ketua bidang/departemen. Tekad saya pada saat itu adalah menjawab pertanyaan yang sempat terlontar di tahun-tahun sebelumnya, bahwa menjadi kakak angkatan itu HARUS perhatian terhadap adik-adiknya. Dan saya akan membuktikannya!
Tapi...ternyata dugaan saya berbalik 180 derajat. Menjadi seorang kakak itu jauh lebih susah ketimbang menjadi seorang adik. Jika seorang adik selalu saja meminta hak untuk diperhatikan, maka seorang kakak seringkali khawatir jika perhatiannya justru memanjakan. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika terlalu banyak perhatian dari alumni dalam sebuah organisasi, justru malah jatuhnya intervensi dan memanjakan. Padahal saat itu sang pengurus lah yang seharusnya menjadi penggerak, tapi malah justru digerakkan oleh para alumninya. Akhirnya organisasi itu tidak berkembang, bahkan jalan di tempat!
Kalau itu di organisasi, namun tidak berbeda pula dalam sebuah keluarga atau dalam sebuah mentoring/liqo'. Seringkali seorang anak menuntut ini itu kepada orang tua atau murabbinya, meminta perhatian lebih untuk senantiasa diluruskan, bahkan tak segan menyalahkan ketika dirinya sendiri yang terjerumus dalam kesesatan. Memang ada hak seorang anak untuk meminta itu semua kepada orang tuanya. Tapi tidak selamanya. Ada kalanya orang tuanya cukup memberi tahu 1-2 kali saja. Selebihnya, biasanya orang tua akan membiarkan atau bertindak tegas kalau sudah kelewatan. Tapi sang anak cenderung menganggapnya sebagai sebuah kekerasan atau pengekangan.
Cukuplah kisah kupu-kupu menjadi pelajaran yang teramat berharga. Betapa keras usaha seekor ulat ketika bermetamorfosis menjadi kepompong. Lalu ia bersemedi sekian lamanya, menjaga keseimbangan di dalam kepompong dari terpaan angin dan hujan badai. Maka sampailah saatnya ia keluar dari kepompong itu. Ketika kita membantu seekor kupu-kupu keluar dari kepompongnya, sesungguhnya dalam waktu bersamaan kita sedang menghancurkan karir kehidupannya. Kupu-kupu itu tidak akan bisa terbang, karena cairan yang seharusnya keluar saat ia berusaha sendiri keluar dari kepompong menjadi tertahan. Padahal cairan itulah yang berfungsi untuk mengembangkan sayap-sayapnya untuk dipakai terbang. Namun kalau kita sabar menanti kupu-kupu itu berusaha keluar dari kepompong dengan usahanya sendiri, maka ia akan menjadi kupu-kupu yang anggun terbang bebas dengan sempurna. Cukuplah saat itu kita menjadi pelindung dari binatang lain yang akan mengganggu atau dari faktor alam yang kurang bersahabat.
Ahh...jadi ingat dengan tulisan berjudul "Profesionalitas vs Kekeluargaan" yang saya tulis saat dahulu menjabat menjadi ketua departemen di beberapa organisasi. Well, memang sulit untuk peka terhadap orang lain ketika kita belum merasakan berada di posisi orang itu. Tapi setidaknya, mulai sekarang berhentilah untuk menjadi pencari perhatian. Karena jatuhnya akan negatif, selalu saja meminta perhatian dari orang lain, bahkan bisa berujung dengan pikiran "Apa yang bisa didapat dari orang lain?". Mulailah untuk memperhatikan orang lain, karena secara perlahan kita akan merasakan bagaimana kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Bila perlu, selalu tanyakan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri:
"Apa yang sudah aku berikan untuk lingkungan sekitarku?"
Catatan: Tulisan ini ditujukan kepada seorang adik angkatan di kampus yang masih saja belum bisa dewasa di usianya yang sudah cukup matang. Ketahuilah bahwa diam-diam kakak-kakakmu ini sangat perhatian kepadamu dengan selalu mengupdate informasi tentangmu. Namun memang, kami seringkali menunggu momentum untuk mengingatkanmu karena khawatir jikalau langkah yang kami tempuh justru semakin membuatmu menjauh dari kami. Maafkan kakak-kakakmu ini yang belum bisa menjadi sosok yang sesuai harapanmu ya, dek. We love you because Allah.
0 Response to "Berhenti Menjadi Pencari Perhatian - Bagian 2"
Posting Komentar