Idealis, Kenapa Tidak? - Bagian 1

Alhamdulillah...akhirnya sampai rumah juga. Sambil terus menguap dan mengedip-ngedipkan mata tanda mengantuk, saya paksakan untuk menulis sebuah artikel di blog ini. Maklum, sudah terlanjur bilang di Facebook, ada beban moral kalau ga jadi posting. Kan kasihan yang sudah setia menunggu :D *kePDan *timpukin sandal


Ceritanya, malam ini saya sekeluarga baru saja menonton film di E-Plaza Simpang Lima Semarang. Tahu film apa yang kami tonton? Kami baru saja menonton Laskar Pelangi 2 ~Edensor~. Film yang awalnya saya kira akan sebagus dua episode sebelumnya. Tapi ternyata dugaan saya salah besar, film ini menurut saya sangat tidak layak untuk ditonton, terlebih untuk anak di bawah umur. Selain durasinya pendek, anti klimaks, dan minim pesan moral, film ini juga memuat terlalu banyak adegan vulgar yang tidak seharusnya ditonton oleh anak-anak. Saya tidak tahu rating film ini apa, tapi seharusnya bukan SU (Semua Umur) maupun BO (Bimbingan Orangtua), mungkin lebih pas kalau 17+ (17 Tahun ke Atas) atau sekalian D (Dewasa). Maaf ya untuk sutradara, produser, segenap artis, dan kru produksi, bukannya saya mau menjelek-jelekkan film ini, tapi film ini memang sangat mengecewakan. Saya tidak ingin teman-teman saya ikut merasakan kekecewaan juga >_<

Baiklah, sebelum berbicara banyak tentang idealis, saya akan mengawalinya dengan sebuah kisah. Kisah ini saya kutip dari Pak Cahyadi Takariawan (penulis buku, trainer, konselor) saat beliau mengisi sebuah pelatihan di Universitas Negeri Semarang. Kurang lebih kisahnya seperti ini.

================== O ==================

Sebut saja Sule, seorang mahasiswa asal desa yang akan melanjutkan kuliah di sebuah universitas ternama di Jogja. Pada saat Sule berpamitan kepada keluarganya untuk berangkat ke Jogja, Bapaknya berpesan kepadanya, "Nak, nanti di sana hati-hati ya, jaga dirimu baik-baik. Bapak denger dari orang-orang sini, Jogja itu selain kota pelajar juga kota free sex. Pilih-pilih temen yang baik, jangan lupa sholat ya."

"Iya, Pak. Insya Allah Sule ga bakal macem-macem. Sule yakin kota Jogja ga seburuk pikiran orang-orang sini", jawab Sule sambil mencium tangan Bapaknya.

Akhirnya, setelah Sule tiba di kota Jogja, Sule segera mencari kost yang menurutnya nyaman, strategis, dan dekat dari kampus. Sebulan kemudian, Sule menelepon kedua orang tuanya, untuk memberi kabar keadaanya selama di Jogja.

"Pak, Bu, alhamdulillah Sule di sini sehat dan kerasan. Teman-teman satu kost juga ramah-ramah kok. Dugaan Bapak dan tetangga tentang kota Jogja yang katanya pergaulannya bebas ga bener", kata Sule melalui telepon selulernya.

.....

Singkat cerita, seminggu kemudian, Sule melihat teman satu kostnya membawa pacarnya masuk ke kamar. Bahkan sampai keesokan paginya, mereka masih tetap saja berduaan di dalam kamar. *apa yang mereka lakukan di dalam kamar? Tidak perlu saya perjelas, yang pasti telah terjadi sesuatu yang negatif

Akhirnya di akhir bulan, seperti biasa Sule menelepon kedua orang tuanya untuk melepas rindu dan memberi kabar.

"Assalamualaikum... Pak, Bu, bagaimana kabarnya? Sehat?", ucap Sule mengawali pembicaraan.

.....

"Pak, ternyata di sini ga sebaik yang Sule duga. Kemarin Sule melihat teman kost sebelah kamar Sule yang bawa teman perempuannya menginap. Mungkin ucapan Bapak dulu ada benarnya", kata Sule.

.....

Setelah puas melepas rindu dengan kedua orang tuanya melalui telepon, akhirnya Sule menutup telepon. Namun, masih ada rasa cemas yang ada di hati Sule. Kecemasan itu datang dari nasehat Bapaknya yang mulai terbukti kebenarannya. Semakin dipikir, Sule semakin bertambah gelisah. Akhirnya untuk menghilangkan kegelisahannya, Sule mengirimkan sebuah SMS kepada orang tuanya.

Pak, Bu, sebelumnya Sule minta maaf. Bulan lalu Sule bilang dugaan Bapak tentang kota Jogja salah. Terus tadi baru saja Sule bilang dugaan Bapak tentang kota Jogja mungkin ada benarnya. Sule kok khawatir kalau bulan depan Sule bilang dugaan Bapak 100% terbukti kebenarannya karena Sule sendiri pun juga telah melakukannya.

================== O ==================

Naudzubillahimindzalik, kisah di atas semoga tidak terjadi pada siapapun ya, termasuk diri kita.

.....


Hoaaahmm...mohon maaf karena sudah mengantuk, terpaksa artikel ini saya buat menjadi 2 bagian. Padahal di bagian pertama ini belum membahas apapun ya tentang "Idealis, Kenapa Tidak?". Hehe...tapi mau bagaimana lagi, raga sudah mulai berontak, memberikan kode untuk istirahat. Insya Allah lanjutannya akan saya posting besok. Hohoho...sabar ya :)

Bagian 2 >> http://behzmohadi.blogspot.com/2013/12/idealis-kenapa-tidak-bagian-2.html

0 Response to "Idealis, Kenapa Tidak? - Bagian 1"

Posting Komentar