Idealis, Kenapa Tidak? - Bagian 2

Kisah yang termuat dalam artikel sebelumnya, merupakan sedikit gambaran bagaimana sebuah ke-idealis-an dapat runtuh karena kondisi lingkungan. Sule yang semula meyakini bahwa kota Jogja adalah kota baik-baik, akhirnya ragu dan kemudian yakin bahwa kota Jogja bukanlah kota baik-baik. Barangkali ada pembaca yang saat ini tinggal atau pernah tinggal di Jogja? Silahkan memberikan komentar untuk meluruskan :)

Sebelum berbicara lebih jauh tentang idealis, mari kita bersama-sama definisikan apa itu IDEALIS. Dari beberapa pengertian yang pernah saya baca, dapat saya ambil kesimpulan bahwa idealis merupakan paham yang menuntut penganutnya untuk berada dalam kondisi se-ideal mungkin yang ia mau. Bisa dikatakan orang-orang yang idealis akan menempuh segala macam cara untuk menghadirkan lingkungan yang ideal bagi dia. Walaupun seringkali yang ia lakukan berdampak tidak nyaman bagi orang lain.

Untuk memperjelas, saya akan memberikan beberapa contoh perbuatan idealis yang pernah saya lakukan selama ini.

Pertama,
saat SMA dulu, mungkin saya dan beberapa teman satu geng saya termasuk orang paling idealis dalam hal contek-menyontek di kelas. Mau disuap, disogok, dimarahi dengan model apapun, kami tidak akan memberikan jawaban saat ulangan/ujian berlangsung. Prinsip saya saat itu adalah ujian merupakan tolok ukur bagaimana seorang siswa dapat memahami sebuah materi. Oleh karena itu, jika dalam ujian ada siswa yang bekerja sama untuk saling memberi tahu jawaban, maka tujuan dari ujian bisa dikatakan gagal. Selain itu, ada peraturan dalam ujian yang mengatakan bahwa siswa dilarang bekerja sama dalam memberikan jawaban. Bukan masalah melanggar peraturannya yang saya khawatirkan. Karena menurut saya kalau menyontek tidak ketahuan tidak menjadi masalah. Aturan ujian kan dibuat oleh manusia sendiri, kalau dilanggar apa ada dosanya? Nah, saya khawatirnya kalau pas saya menyontek pas ketahuan oleh pengawas ujian. Kalau jawab jujur, saya dapat hukuman. Kalau jawab bohong, saya dapat dosa.

Oleh karena itu, untuk para guru saya sarankan menanyakan kepada setiap siswa setelah selesai ujian "apakah ada siswa yang bekerja sama atau tidak". Karena kalau tidak begitu, menurut saya sih sama saja ada peraturan "dilarang bekerja sama" dalam ujian :)

Kedua,
saya punya prinsip yang agak aneh dalam hal kedisiplinan. Saya lebih suka datang lebih awal dari waktu yang disepakati atau tidak datang sama sekali daripada datang terlambat. Saya ulangi ya, saya lebih suka datang lebih awal dari waktu yang disepakati atau tidak datang sama sekali DARIPADA datang terlambat. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mungkin lebih suka datang pas dengan waktu undangan atau sengaja terlambat supaya tidak lama menunggu (karena terlalu banyak orang yang datang terlambat, seingkali justru acaranya lah yang mengalah dan akhirnya mundur dari jadwal). Entahlah, saya merasa sangat malu sekali ketika berada di posisi orang yang terlambat. Rasa-rasanya tidak ada gunanya kehadiran saya disitu, makanya kemudian saya punya prinsip lebih baik tidak datang sama sekali. Tapi untuk beberapa kasus, saya paksakan untuk datang terlambat jika memang kehadiran saya sangat dibutuhkan.

Ini bukan karena saya malas lho, tapi sekali lagi karena ini prinsip. Saya sebenarnya juga merasa aneh sih dengan prinsip saya yang satu ini. Namun, prinsip ini justru membuat saya lebih sering datang lebih awal daripada akhirnya tidak datang sama sekali. Secara tidak langsung, saya termasuk orang yang lebih senang menunggu daripada datang terlambat. Bahkan ketika menjadi orang pertama yang datang dalam sebuah acara, rasanya sungguh menyenangkan sekali. Seperti menjadi orang yang paling disiplin di seluruh dunia. Tidak percaya? Coba saja :D

Ketiga, dan ini yang terakhir dari sekian banyak sisi idealis dalam kehidupan saya,
terjadi di malam kemarin saat saya menulis status yang isinya,


Malam itu, selesai kami sekeluarga menonton film Laskar Pelangi 2, kami memutuskan untuk sekalian mencari makan malam. Karena kami berada di lokasi Simpang Lima Semarang, maka tidak sulit bagi kami untuk mencari warung sebagai persinggahan kami untuk mengisi perut. Apalagi sekarang di sepanjang jalan raya di area Simpang Lima berderet restoran jalanan dengan berbagai menu yang ditawarkan. Tapi...tahukah kalian? Bagi orang-orang idealis seperti saya, pasti akan menemukan keganjilan ketika berada disana. Ada yang bisa menebak? Ya, tidak ada satu tempat makan pun yang menuliskan "HALAL" di spanduk mereka. Sekedar logo pun tidak ada.

Akhirnya, di saat yang lain memilih tempat makan yang menurut saya (ehm...) kurang meyakinkan kehalalannya, akhirnya saya menemukan satu tempat yang menurut saya insya Allah terjamin kehalalannya. Taraaa...

Spesial Nasi Goreng - Pak Sukim

Kalau kawan-kawan perhatikan, ada seorang Bapak yang memakai peci dari balik dapur sebuah warung. Peci, yang menurut orang lain tidak begitu penting, tapi sangatlah penting bagi saya sebagai seorang Muslim dalam mencari makanan di antara banyaknya warung di sana yang mayoritas milik orang-orang China. Pak Sukim lah yang akhirnya menjadi penyelamat saya malam hari itu. Lebay, memang. Tapi saya bangga dengan aturan agama yang akhirnya menjadi prinsip dalam hidup saya.


يَآ اَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْاَرْضِ حَلَلاً طَيِّبًا وَ لاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَنِ اِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ـ البقرة

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah: 168)

Di akhir tulisan ini, saya ingin memberikan penegasan bahwa menjadi idealis itu bukanlah sesuatu yang buruk, selama yang kita yakini sebagai prinsip itu sesuatu yang baik dan benar. Walaupun menjadi idealis itu sulit karena mungkin banyak orang yang tidak suka, tapi tetaplah percaya bahwa:

"Sesuatu yang baik akan tetap menjadi baik walaupun tidak ada orang yang menyukainya dan sesuatu yang buruk akan tetap menjadi buruk walaupun semua orang menyukainya."


Oh iya, ada satu hal yang perlu saya tanggapi berkenaan dengan komentar salah seorang teman di Facebook yang mengatakan, "Jangan pas muda saja mas". Sebenarnya tidak masalah sih ketika kita baru idealis ketika tua. Tapi masalahnya, seringkali sebuah ke-idealis-an itu akan terus berkurang seiring dengan perubahan lingkungan dan pengalaman yang kita alami. Kisah Sule di atas contohnya. Oleh karena itu, mumpung kita masih muda, jadilah orang yang seidealis mungkin. Supaya kita punya banyak waktu untuk mempertahankan ke-idealis-an kita. Tapi ingat, idealis lah untuk sesuatu yang baik dan benar. Bukan berarti ketika kita idealis, kita menjadi anti-kritik ya. Ingat Itu! ^^

Idealis, Kenapa Tidak? :)

0 Response to "Idealis, Kenapa Tidak? - Bagian 2"

Posting Komentar