Nasyid, begitulah orang-orang menyebutnya. Entah darimana asal kata itu, tapi yang pasti setahu saya jaman Rasulullah dulu yang ada hanyalah syair-syair perjuangan yang dilontarkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah untuk menggelorakan semangat para mujahid kala itu. Memang ada perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama tentang hukum bernasyid. Tapi insya Allah dengan segala keyakinan dan kemantapan hati, untuk saat ini saya dan beberapa teman munsyid lain yakin bahwa jalan ini lurus dan diridhoi oleh Allah SWT. Aamiin...
"Nasyid itu seminimal-minimalnya dakwah akh, kalo antum aja tidak bisa istiqomah di nasyid, antum mau dakwah lewat apa lagi?", kurang lebih begitulah cuplikan dialog antara saya dengan seorang teman yang saat itu ingin mundur dari dunia nasyid. Saat itu, saya masih memandang kalau nasyid ini adalah tempatnya orang-orang ammah (umum/awam) yang ingin masuk dalam barisan dakwah. Sehingga tak heran pandangan 'meremehkan' sering disematkan pula oleh teman-teman aktivis kampus yang sudah lama bergelut dengan dakwah. Bahkan saya dan beberapa teman yang lain pun di awal-awal masuk ke dunia nasyid beranggapan bahwa nasyid ini hanya sebagai tempat untuk merefresh diri, ajang menyalurkan hobi menyanyi, atau cari uang untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Sehingga pada akhirnya anggapan-anggapan itulah yang membuat kita semua 'mengkerdilkan' nasyid, sampai akhirnya mengatakan bahwa nasyid adalah dakwah yang paling minimal. Padahal di balik itu semua terdapat hikmah-hikmah yang luar biasa dalam dunia nasyid.
Dua hari terakhir ini, Mahiba Nasyid, tim nasyid dimana saya bernaung, melakukan tour ke dua kota tetangga, Kudus dan Pati. Di Kudus, kami tampil sebagai pengisi hiburan dalam acara pernikahannya anak dari seorang ulama besar di Kudus, sedangkan di Pati kami mengisi hiburan dalam acara Targhib Ramadhan yang diselenggarakan oleh sebuah partai. Sempat terbesit pemikiran bahwa sebenarnya apa motivasi tertinggi yang saya dan teman-teman pakai sehingga mau jauh-jauh datang kesana. Apakah karena untuk merefresh diri? Ajang menyalurkan hobi menyanyi? Atau cari uang untuk menambah penghasilan? Hmm...setelah sempat saya rasakan, saya perhatikan, ternyata motivasi-motivasi kerdil yang saya sebutkan tadi bukanlah motivasi tertinggi.
1. Oke fine, perjalanan ke luar kota bersama teman-teman memang mengasyikkan, ditambah dengan biaya transport dan akomodasi yang biasanya ditangguh oleh panitia. Tapi apakah itu sebanding dengan pengorbanan kami meninggalkan tugas dan agenda penting kami yang seringkali sedang dikejar deadline? Belum lagi ketika mendapati kendaraan yang 'mengangkut' kami ternyata membuat kami sangat tidak nyaman selama perjalanan. Alhasil penampilan tidak maksimal pun menjadi konsekuensinya.
2. Hobi menyanyi? Nooo...itu salah besar! Kalau itu menjadi motivasi tertinggi kami, tentulah nasyid bukan menjadi jalan yang kami tempuh. Boyband tampaknya lebih menjanjikan, menawarkan popularitas dalam waktu singkat, dan terlihat keren bagi sebagian orang. Huh, sorry ya, kalau bisa kami pun sebenarnya ingin untuk berdakwah tanpa melalui nyanyian. Tapi kalau bukan kami, siapa lagi yang mau 'menggarap' lahan dakwah yang sangat potensial ini? Pakai jalan apalagi jaman sekarang ini untuk mengalihkan perhatian para remaja kepada musik-musik galau? Lantas kalau ada acara-acara kampus ataupun pengajian mau diisi hiburan apa kalau bukan nasyid? Bahkan teman sempat cerita, ketika dahulu dia diamanahi menjadi ketua LDK di sebuah kampus, dalam sebuah acara dia memilih untuk bernasyid ketimbang menghadiri acara yang diselenggarakan LDKnya. Lalu suatu ketika dia ditegur oleh stafnya, "Akh, antum itu gimana sih? Ketua LDK koq malah nasyidan terus, itu kegiatannya diurusin". Teman saya menjawab, "Siapa suruh dulu milih ane jadi ketua? Udah tahu kan kalo ane munsyid? Oke, ane akan dateng di kegiatan besok, tapi antum gantiin ane tampil ya?". Yang ditanya langsung bingung mau jawab apa. Nah lho? Sekarang gimana coba...
3. Yang terakhir ini nih yang sering jadi bahan ejekan teman-teman non munsyid. Katanya, munsyid itu enak, uangnya banyak! Eh, kata siapa, kalau antum pernah punya teman munsyid yang uangnya banyak itu belum tentu dia dapat dari hasil bernasyid. Barangkali teman antum itu punya usaha sendiri, tabayyun dulu dah! Karena saya sendiri ngalamin koq, uang yang keluar dari kantong buat beli bensin, beli makan, beli minum, pas waktu latihan rutin tiap minggu itu kalau ditotal jauh lebih besar dari uang THR yang didapet paling tiap tahun sekali sampai tiga kali. Nah terus kemana larinya uang yang didapet pas setelah selesai manggung? *ya kalo dapet, hehe...kalo enggak ya ga masalah Uang-uang itu larinya nih ya, untuk mempertahankan keberadaan nasyid itu sendiri *buat bayar kontrakan kantor maksudnya, untuk beli perlengkapan manggung *seperti make-up, kostum, sewa keyboard, dll, untuk biaya rekaman, dan masih banyak lagi. Masih punya pikiran kalau munsyid itu enak karena dapet uang? Hoho...noh ada kisahnya. Tahun lalu ada adek angkatan yang bikin grup nasyid. Belum lama berdiri, ada tawaran manggung dan langsung dapet bayaran. Ealah...lha koq selesai tampil, uangnya langsung dibagi! Dan tahu apa akibatnya? Besoknya BUBAR! *ya karena motivasi mereka uang, kalau yang diinginkan sudah terlaksana ya sudah ngapain dilanjutin, ya ga?
Makanya, dari pengalaman-pengalaman itu, heran saja apa sih yang mendasari para munsyid bisa ikhlas dalam menjalani setiap aktivitasnya? Tengok tuh, Kang Teddy Snada yang rela bayarin biaya pulang-pergi anak-anak Nasyid Indonesia yang kurang lebih jumlahnya 7 orang cuma sekedar tampil semalem di Solo terus balik lagi ke Jakarta dan tampilnya free alias ga dibayar. Mas Aris NP yang sudah pontang-panting mengangkat nama nasyid di kota Semarang, sehingga sekarang ini bukan hal yang istimewa lagi nasyid bisa tampil di acara-acara super mewah dan kelas tinggi yang biasanya diisi oleh band atau grup musik yang sudah lama malang melintang. Mas Alief yang mengabdikan hampir separuh hidupnya untuk mengangkat nama nasyid dengan sentuhan romantic sehingga pada saat ada pernikahan yang diputar bukan lagu dangdut tapi nasyid. Mas Firto yang bekerja keras untuk membuat nama ANN Jateng menjadi begitu hebatnya di Indonesia dan 'menggojlok' mental para munsyid-munsyid ANN Jateng sehingga saat ini dihasilkan munsyid-munsyid yang masih tetap istiqomah dalam bernasyid. Dan masih banyak lagi orang-orang hebat yang saya kenal dan perhatikan dalam dunia nasyid yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Sehingga di akhir tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa motivasi tertinggi kami dalam bernasyid adalah untuk berdakwah. Bukan dakwah yang minimal, tapi dakwah yang maksimal. Karena ketika kami bernasyid, tepuk tangan penonton akan kami jadikan sebagai pelecut semangat kami, uang yang didapat dari panitia akan kami jadikan untuk mengembangkan nasyid supaya lebih besar lagi, dan lelah yang kami dapatkan akan kami anggap sebagai bukti dari usaha kami. Ketika pesan-pesan yang kami sampaikan dalam lantunan nasyid itu tersampaikan ke hati para pendengar, itu jauh lebih membuat kami senang ketimbang efek popularitas yang justru membahayakan.
Seiring perjalanan kami dalam bernasyid tentulah bayang-bayang ujub, popularitas, sering menghantui setiap langkah kami. Tapi bukankah itu tidak jauh berbeda dengan kawan-kawan kami yang juga berdakwah dalam dunia politik, kampus, atau di tatanan masyarakat? Lalu lihatlah bahwa banyak juga tim nasyid baru yang lantas esoknya tidak terdengar gaungnya lagi karena sudah bubar, apakah itu mencerminkan bahwa bernasyid itu mudah? Tidak, nasyid juga butuh keistiqomahan. Oleh karena itu, baik di dunia nasyid, politik, kampus, masyarakat, atau dimanapun tempatnya, haruslah dakwah ini bersatu. Janganlah kita saling menyikut satu sama lain yang itu biasanya hanya disebabkan prasangka negatif yang kita buat sendiri. Insya Allah, dengan kita bersatu, kemenangan itu akan semakin dekat. Allahu Akbar! ^_^
Mahiba Nasyid, doakan semoga selalu istiqomah ya...:D |
Oh iya, terkadang ada teman yang nyeletuk,
"Ngundang nasyid koq sekarang mahal sih ya?"
"Ngapain sih perlu sewa sound system yang bagus segala buat nasyid?"
"Lagu nasyid koq ga bisa didownload gratis, kan mahal kalau harus beli albumnya?"
Iseng-iseng aja bales celetukannya,
"Lha memang antum mau kualitas nasyid yang seperti apa? Kalau mau nasyid yang bagus ya harus rela dong bayar mahal sedikit, toh juga uangnya buat mengembangkan nasyid."
"Nasyid itu satu paket sama sound, apalagi untuk acapella. Ibarat mau perang, sound itu sebagai tameng dan pedangnya. Nah kalo ga pake sound yang bagus/standart gimana nasyid mau bagus? Mau kalau nasyidnya tampil ga bagus karena masalah sound? Pada akhirnya kalau tampilnya jelek, yang kena imbasnya juga image nasyid sendiri kan?"
"Sudah saatnya nasyid jual mahal. Kalau nasyid terus-terusan bisa didownload secara gratis, gimana nasyid mau berkembang? Sekalian buat mendidik nasyid lovers supaya mau menghargai karya-karya anak bangsa, hehe..."
0 Response to "Nasyid, Inilah Jalanku. Antum? :)"
Posting Komentar