Seringkali kita tidak menyadari bahwa yang kita lakukan ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan orang yang menurut kita sukses. Kita seakan lebih suka menyalahkan takdir, nasib, untung, bejo, dan sebagainya, daripada mencari tahu dibalik kesuksesan seseorang apa saja yang sudah dilakukannya.
Bagaimana jika saat kita terlelap ternyata dia masih terjaga?
Bagaimana jika saat kita berjalan ternyata dia sedang berlari?
Bagaimana jika saat kita menunda kebaikan karena menganggapnya remeh ternyata dia sedang menjemput kebaikan meskipun itu remeh?
Dan bagaimana-bagaimana yang lainnya...
Mengutip artikel yang ditulis oleh Gibran Huzaifah, CEO Cybreed, dalam grup WA "Pengusaha Kampus Plat H":
Tetiba saya teringat curhat teman saya yang gagal bisnis lalu berucap "Yah, bukan takdirnya, mungkin Allah punya rencana lain". Saat itu saya terheran, karena tahu betul bahwa dia mengurus bisnis asal-asalan, terlalu cepat menarik investasi besar, serta mengelola dengan manajemen yang jauh dari profesional dan akuntabel. Lalu, kenapa takdir yang disalahkan? Yah, memang mungkin saja karena memang bukan takdirnya; tapi bukankah mungkin juga karena usahanya yang kurang keras dan cerdas? Yah, memang bisa jadi karena Allah punya rencana lain; tapi bukankah bisa juga karena kita yang lemah dalam mengeksekusi rencana yang ada? Di detik itu saya dibelai kembali dengan ayat tentang Allah yang tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa adanya upaya perubahan dari kaum itu sendiri.
Ya, takdir mensyaratkan adanya optimalitas perjuangan. Saya setuju dengan salah satu analogi yang menariq dari Pidi Baiq (biar berrima); bahwa takdir itu seperti kalkulator. Jika kita menginginkan hasil 9, maka kita bisa mengetik "2+2+2+2+1=" atau "7+1+1=" atau "9=". Dengan kata lain, hasil yang diharapkan dapat ditempuh dengan jalan yang berbeda, tapi by default masing-masing tetap mengharuskan adanya pemenuhan syarat dan kesatuan proses, sunnatullah; kecuali Allah berkehendak lain. Yang disayangkan, kadangkala kita menyalahkan kalkulator saat hasil yang keluar 4 dan yang diharapkan 25, padahal kita mengetik "1+3=".
Yang lebih menarik, dalam Islam, satu amal divaluasi dalam sebuah runtutan yang integral. Mulai dari niat (pre-action), ikhtiar (in-action), tawakkal (pre-result), dan sabar serta syukur (post-result); hasil (result) adalah hak Allah. Kita dituntut untuk memiliki niat yang lurus dan mulia, ikhtiar yang keras dan optimal, bertawakkal apapun hasil yang kelak Allah tentukan, lalu bersabar dan bersyukur terhadap hasil yang kita dapatkan. Tanpa adanya optimalitas holistik di setiap prosesnya, amal kita tidak akan dinilai secara maksimal.
Nah, bayangkan jika setiap diri kita memenuhi ini; maka kita akan jadi manusia yang memiliki motivasi besar dan murni (niat), dengan etos kerja tiada henti (ikhtiar), tanpa perlu diresahkan dengan hasil melalui kepasrahan diri (tawakkal), dan terhindar dari kesombongan maupun penyesalan berlebih, apapun pencapaian yang kita dapati (syukur dan sabar). Mental ini akan mewujudkan hidup yang produktif, rendah hati, tenang, dan visioner, dalam waktu yang bersamaan. Dahsyat. Luar biasa. Biasa di luar. Dibiasakan keluar.
Maka, berkaca dari itu, saya malu jika hanya menyalahkan takdir, lalu melupakan evaluasi di setiap titik dalam amal diri. Sebelum berucap "Ah, bukan jodohnya" saat hasil yang kita dapatkan tidak baik, mungkin kita harus berkaca untuk menilai apakah kita telah menempuh jalan dengan proses yang terbaik. Karena, itulah karakter diri yang seharusnya; memupuk niat yang terbaik, berusaha dengan kekuatan yang terbaik, sembari meyakini bahwa Allah memang selalu menjanjikan hasil yang terbaik.
Rumput tetangga terlihat lebih hijau? Yakin?
"Mungkin karena rumput tetangga LEBIH SERING DISIRAM dari punya kita kali ya!"
#selftalk
0 Response to "Rumput Tetangga Terlihat Lebih Hijau? Yakin?"
Posting Komentar